Fokus Group Diskusi : Cetuskan Program Purbalingga Pintar
Permasalahan pendidikan di Purbalingga kalau dikupas habis maka masih menyisakan persoalan yang serius yang perlu mandapat perhatian dari Pemerintah Daerah Purbalingga. Data PPLS tahun 2011 terdapat 7-12 tahun ada 1.972 anak tidak sekolah, 13-15 tahun sebanyak 7.116 anak dan 16-17 tahun sebanyak 10.169 anak. Faktor yang menjadi anak tidak sekolah karena berbagai hal seperti ekonomi, kecacatan dan tingkat pendidikan dari orang tua.
Menurut Kepala Bappeda Purbalingga, Setiyadi persoalan ini tentunya harus segera di cari jalan keluarnya. Banyak orang berbondong-bondong demo ke Bupati karena kerusakan jalan di wilayahnya, namun tidak ada demo dari masyarakat apabila ada anak tidak sekolah di wilayahnya. Hal tersebut karena tidak adanya kepedulian dari masyarakat.
“Untuk mengatasi anak tidak sekolah Insyaalaah kita mampu, kalau dihitung-hitung kurang lebih Rp 5 milyar, dana fisik yang Rp 15 milyar kita mampu apalagi yang cuma Rp 5 milyar,”ujar Setiyadi pada saat memimpin diskusi di Aula Bappeda, Kamis (14/8)
Setiyadi berpendapat pendidikan adalah tangungjawab kita bersama, nilai bagus tidak menjamin anak akan masa depannya, yang dibutuhkan adalah guru yang mempunyai treatment dalam mendidik anak, “Guru bukan pelatih atau mentor pekerja pabrik idep, yang diajarin harus bisa,” ujar Setiyadi
Untuk itu program Purbalingga pintar suatu gerakan yang perlu kita dilaksanakn mulai dari kabupaten, kecamatan, dan desa. Kader Keluarga Berencana dan TKSK di Kecamatan bisa diberdayakan untuk mendata anak-anak yang tidak sekolah, merumuskan permasalahan sehingga diperoleh penyebab kenapa anak tidak bisa sekolah, sehingga treatment seperti apa yang dibutuhkan, setelah itu pengalokasikan anggarannya.
“Program ini sebenarnya mengorek borok sendiri, tapi program ini harus dilaksanakan karena pada usia tersebut adalah generasi emas. Program ini bukanlah program populer karena tidak menjadi isu politik,” tambah Setiyadi.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Pariwisata (Dinbudparpora), Akhmad Khotib mengatakan ada tiga persoalan yang tidak terpisahkan yang pertama adalah calon siswa yang harus dididik, kedua siapa yg harus bertangungjawab, dan ketiga siapa yang akan mendidik. Guru sebagai seorang pendidik perlu mengetahui perkembangan sikologis anak didik, banyak guru yang ngawur dalam mengajar.
Ahmad Khotib berpendapat guru belum saatnya mendapatkan tunjangan sertifikasi karena antara kemampuan dan hasil pendidikan belum memadai. “Harus ada lembaga yang mempunyai kompetensi dalam menangani sertifikasi guru,”ujar Khotib
Ahmad Khotib menambahkan pendidikan setingkat taman kanak-kanak dan pendidikan usia dini (PAUD) merupakan malapetaka pendidikan karena guru-guru yang menanganinya rata-rata tidak mengetahui potensi anak didiknya. “Coba sekarang dilihat pendidikan guru PAUD dan TK, mereka hanya S thuthung, di luar negeri gurunya S2 (Magister). Jadi jangan salahkan anak apabila anak menjadi nakal, anak menjadi nakal karena kesalahan reyen,” kata Khotib
Menurut Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhamadiyah, Aziz Furqon mengatakan pekerjaan seorang guru belum bisa dikatakan sebuah profesi. Pekerjaan dikatakan sebuah profesi apabila suatu pekerjaan tidak bisa diampu oleh orang lain, contohnya adalah dokter.
“Kondisi seorang guru tak akan lepas dari kondisi masyarakatnya. Kesalahan-kesalahan guru harus bisa dikoreksi oleh komunitas pendidik,”kata Furqon
Dalam Diskusi Setiyadi mengakhiri kompleksitas permasalahan pendidikan dan ini merupakan tantangan profesi bagi pendidik sehingga peningkatan kualitas pendidikan harus diutamakan. Hal hal terait aksesories dalam hal pendidikan untuk sementara kita kesampingkan dahulu (Sapto Suhardiyo)
Komentar Pengunjung